Pendidikan Jasmani,Kesehatan,Olahraga dan Rekreasi adalah Proses pendidikan melalui aktivitas jasmani yang didesain untuk meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan keterampilan motorik, pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan aktif, sikap sportif, dan kecerdasan emosi. Dalam Blog ini Disajikan berbagai Materi ,Rangkuman,Soal Dan Perangkat Pembelajaran Dari KTSP, K-13 Dan Kurikulum Merdeka Belajar Yang Terbaru Dari Mata Pelajaran PJOK Yang dan Dapat Di Download Gratis.
Tuesday, September 10, 2019
Perlindungan Profesi Guru: UU Guru dan Dosen vs UU Perlindungan Anak
Dalam rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa guru, secara khusus, adalah pendidik profesional dengan tugas untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dari definisi guru di atas terlihat bahwa tugas profesionalnya tidaklah ringan. Ia dituntut untuk terus senantiasa meningkatkan profesionalismenya dengan baik. Pun tantangan yang dihadapinya kian berat dan kompleks di era globalisasi, kini.
Sangat kontras jika dibandingkan dengan kondisinya beberapa puluh tahun yang lalu. Hal ini membutuhkan perlindungan yang komprehesif terhadap profesi guru agar aman, nyaman dan leluasa menjalankan profesinya menjadi guru.
Banyak kasus yang telah terjadi di mana guru menjadi objek kekerasan peserta didik atau orang tua peserta didiknya. Bahkan lebih dari itu semua, ada seorang guru dianiaya hingga ia tewas.
Kasus terakhir yang masih hangat dalam ingatan kita adalah penganiayaan terhadap seorang guru bernama Ahmad Budi Cahyono di SMA 1 Torjun, Kabupaten Sampang, Madura, Kepergiannya menyisakan luka dan pilu yang menyayat hati. Paling menyedihkan lagi, sang guru seni itu harus pergi selamanya dengan meninggalkan seorang istri yang tengah mengandung anak pertama.
Perlindungan Profesi Guru vs UU Perlindungan Anak
Guru seringkali dilaporkan telah melanggar hak perlindungan anak saat memberikan sanksi pelanggaran displin terhadap peserta didiknya, seperti menyuruh push up atau menyuruh berlari mengelilingi lapangan basket sekolah dan sejenisnya. Kini, sanksi jenis demikian dinilai tidak lagi mendidik bahkan dianggap melanggar Undang-undang Perlindungan Anak.
Hukuman disiplin yang diberikan kepada peserta didik harus mengacu kepada tata tertib sekolah dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak. Seorang guru, sungguh, harus “berhati-hati” dalam mendisiplinkan peserta didiknya agar terhindar dari ancaman UU Perlindungan Anak di atas.
Biasanya, guru kerap diadukan ke aparat kepolisian dengan laporan melanggar Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA). Undang-undang Perlindungan Anak seperti ranjau yang bisa menyandera seorang guru dari kewenangan profesinya. Ia juga seolah menjadi alat kriminilasasi bagi guru. Kondisi demikian adalah konsekuensi atas pemaknaan HAM yang kebablasan pasca reformasi.
Pasal 54 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang biasanya dijadikan referensi dalam laporan pengaduan kekerasan terhadap anak oleh guru. Pasal tersebut berisi bahwa anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temanya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya. Tindakan kekerasan terhadap anak di atas bisa berupa fisik, psikis dan seksual.
Kondisi faktual di lapangan kini mulai terlihat, seorang guru akhirnya mengambil jalan aman agar tak dipusingkan dengan dampak yang akan terjadi jika ia melakukan hal-hal yang dianggap melakukan kekerasan terhadap anak didiknya dengan membiarkan atau “cuek” terhadap perilaku peserta didiknya yang kurang sopan atau beretika kurang baik. Sungguh, sebuah sikap dilematis yang hadapinya.
Di sini lain ia harus bertanggungjawab atas perilaku peserta didiknya, dan di sisi lain ia merasa takut terkena masalah hukum yang akan menimpanya. Akhirnya, ketika di sekolah, ia hanya sebatas mengajar bukan mendidik. Padahal proses pendidikan harusnya meliputi tiga ranah, yaitu menyoal sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Tidak hanya didominasi oleh ranah pengetahuan belaka.
Dari data dan fakta di atas pemerintah dalam konteks ini, Kemendikbud, harus segera merealisasikan perlindungan guru, agar dalam melaksanakan tugasnya, seorang guru bisa merasa aman, nyaman, tenteram, serta tidak mudah dikriminalisasi oleh peserta didik atau orang tua peserta didik.
Negara mempunyai tugas memastikan pelaksanaan hak dan kewajiban warga negaranya berjalan dengan baik. Disamping itu, negara juga harus dapat mencegah terjadinya risiko yang selalu mengancam warga negaranya dengan baik pula. Jika kita lihat pesan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tampaklah dengan jelas bahwa negara bertugas mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, termasuk di dalamnya rakyat mendapatkan perlindungan hukum secara komprehensif.
Senada dengan hal di atas, H.W.R. Wade (Character of the Law, 1986)mengatakan pentingnya perlindungan hukum bagi masyarakat atau warga negaranya. “.....the need to protect the citizen against arbitrary goverment”.
Spirit perlindungan hukum di atas terlihat salah satunya dalam Undang-undang Guru dan Dosen, dimana ia menjadi objek kajian perlindungan hukum bagi profesi guru. Perlindungan hukum bagi profesi guru pada umumnya bisa dipahami dengan menelusuri sumber pengaturannya, yaitu sejarah yang termanifestasikan dari landasan filosofis, yaitu Pancasila.
Sebagaimana rumusan pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang telah dibahas di atas, sangat jelaslah pengertian guru dengan tugas keprofesiannya.
Jika kita lihat juga Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 menyebutkan bahwa “pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas.
Adapun perlindungan yang dimaksud dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Selanjutnya dalam Pasal 39 ayat (3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 disebutkan bahwa “perlindungan hukum sebagaimana dimaksud mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, itimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
Menyoal perlindungan hukum, semua guru harus dilindungi secara hukum dari segala anomali yang berpotensi menimpa guru. Perlindungan hukum tersebut meliputi perlindungan yang muncul akibat tindakan dari peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi atau pihak lain, berupa: (1) tindak kekerasan; (2) ancaman, baik fisik maupun psikologis; (3) perlakuan diskriminatif; (4) intimidasi; dan (5) perlakuan tidak adil (Trianto & Tutik, 2006;).
Adapun soal perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam penyampaian pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas (Masnur, 2007; dan Kemendikbud RI, 2012).
Menyoal perlindungan profesi guru, sebenarnya kita bisa belajar dari profesi kesehatan. Profesi kesehatan seperti dokter, perawat, dan apoteker memiliki kerjasama erat dengan asuransi kesehatan dan asosiasi profesi (Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, dan Ikatan Apoteker Indonesia) jika ada tuntutan malpraktek dari pasien. Seandainya terjadi tuntutan atau klaim malpraktek, biasanya bisa diselesaikan pada Majelis Konsil Kedokteran. Jarang sekali kasusnya berakhir di meja hijau.
Kondisi di atas dapat menjauhkan profesi kesehatan dari ancaman kriminalisasi dan kekerasan, karena masalah tuntutan malpraktek, umumnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan dengan kompensasi yang pas dari pihak asuransi (Arli Aditya, 2018). Pertanyaannya kemudian adalah dapatkah perlindungan yang sama bisa dirasakan oleh praktisi pendidikan, yaitu guru ?
Perlindungan profesi guru sudah sangat terang dan jelas termaktub dan diatur di Pasal 39 Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005. Artinya, semua pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan, baik pemerintah, yayasan, maupun publik, wajib mengupayakan perlindungan hukum, profesi, dan keselamatan pekerjaan kepada guru.
Perlindungan terhadap profesi guru juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008. Terutama Pada Pasal 39 ayat (1), disebutkan bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agaman, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.
Pada ayat (2) dijelaskan mengenai sanksi tersebut berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.
Kemudian pada Pasal 40 PP Nomor 74 Tahun 2008 dijelaskan pula bahwa guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai kewenangan masing-masing. Rasa aman dan jaminan keselamatan tersebut diperoleh guru melalui perlindungan hukum, profesi dan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah pantas seorang guru dihakimi sendiri, dipenjarakan, dipukul, dianiaya hingga ia meninggal di tangan peserta didiknya hanya karena memberi sanksi terhadap peserta didiknya yang melanggar aturan di sekolah atau di kelas? Mandulkah pasal-pasal dan ayat-ayat dari UU, PP dan regulasi lain yang melindungi profesi guru tersebut? Atau ada faktor apakah yang membuat seorang guru selalu didiskreditkan dalam kasus-kasus tertentu?
Guru selalu menjadi korban, objek penderita dalam beberapa kasus terakhir saat ia melakukan pendidiplinan terhadap peserta didiknya. Posisi guru dalam hal ini sangat lemah dan dilematis. Di satu sisi harus mewujudkan tujuan pendidikan nasional, di sisi lain dalam menjalankan kewenangannya dianggap melangggar UU Perlindungan Anak dan “diancam” oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Hak-hak anak atau peserta didik ini memang perlu diindahkan. Tapi yang sering dilupakan adalah bahwa guru juga punya hak untuk mendidik anak dengan cara-cara yang edukatif. Perlakuan guru terhadap anak dengan maksud untuk “mendidik” seringkali ditafsirkan sebagai pelanggaran terhadap HAM.
Banyak kasus dimana guru dituntut secara hukum karena dianggap telah melanggar hak-hak anak. Sementara itu hak-hak guru sendiri untuk mendapatkan perlindungan, baik perlindungan terhadap profesi, hukum, keselamatan kerja, dan kekayaan intelektual kurang diperhatikan dan terabaikan sama sekali.
Akhirnya, jika guru selalu didiskreditkan dalam kasus di atas, maka tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, tidak akan tercapai.
Saya kira, salah satu solusinya adalah perlu ada sinkronisasi dan integrasi dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, sehingga dari segi etik- normatif dan pelaksanaannya tidak terjadi benturan dan tumpang-tindih, yang akan berimplikasi pada pelaksanaan peraturan perundangan-undangan itu dalam tataran praktis dan keseharian kehidupan guru atau para pendidik.
Solusi lainnya pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan atau regulasi baru yang mengecualikan pemberlakuan terhadap Undang-undang Perlindungan Anak, di mana guru mendapat pengecualian ketika melaksanakan kewenangannya sebagai guru. Atau bahasa lainnya guru tidak dapat dipidanakan oleh UU Perlindungan Anak saat ia bertugas melaksanakan kewenangannya sebagai seorang guru dengan keprofesiannya yang melekat padanya.
Guru yang melakukan tindakan pendisiplinan atau memberikan sanksi disiplin terhadap peserta didik dilingkup sekolah formal dan non formal, dengan aturan dan dasar yang jelas, tidak bisa dipidanakan dengan alasan apa pun.
Dengan demikian, seorang guru tidak akan lagi merasa terancam jiwanya, profesinya dan yang lainnya saat ia menjalankan tugas keprofesiannya. Seorang guru akan fokus tugas untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dengan baik dan benar, sehingga tujuan pendidikan nasional akan tercapai dengan sempurna.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
MODUL AJAR PJOK SD FASE B KELAS IV MATERI 1.5
MODUL AJAR PJOK SD FASE B KELAS IV Penyusun : Jenjang Sekolah : SD K KA REDONG Kelas : IV Materi : 1.5 A...
-
CONTOH SOAL UJIAN PRAKTEK PJOK SD UJIAN SEKOLAH ( US ) PRAKTIK...
-
A. UPACARA PEMBUKAAN JAMRAN 2019 (DILAKSANAKAN DI BAWAH JAM 12.00 ) UPACARA PEMBUKAAN JAMBORE RANTING KE.....TAHUN 2019 KWARRAN....
-
RASIONAL Rasional Alur Tujuan Pembelajaran adalah rangkaian tujuan yang disusun secara logis menurut ururtan pe...
No comments:
Post a Comment